Narasi Kesetaraan Gender Bagi Perempuan

 Kata-kata "feminis" kian merebak di kalangan wanita sebagai pembelaan atas hak-hak perempuan yang sebelumnya belum diperoleh. Mulai dari hak wanita dalam lingkup pekerjaan seperti, hak untuk cuti, hak untuk mendapatkan posisi atau jabatan yang sama dengan lelaki, dan lainnya. Makin kemari, semua hak itu sepertinya mulai diperoleh oleh perempuan dengan catatan atas kepercayaan yang kurang atas kepemimpinan seorang perempuan. Hal ini masuk akal sebab perempuan dan lelaki berbeda secara biologis yang mungkin mempengaruhi berbagai caranya untuk mengambil keputusan sehari-hari.

Namun, sayangnya bagi penulis yang memang lebih banyak tumbuh bersama dominasi laki-laki. Berbagai cuitan atas laki-laki terhadap perempuan nyata adanya. Mulai dari cewek itu ribet, cewek itu beban, cewek itu lemah, dan berbagai perspektif lainnya muncul dari lelaki di sekitar membuat penulis tumbuh menjadi seorang perempuan yang berusaha untuk tidak menjadi perempuan yang memiliki berbagai karakteristik dari perspektif tersebut. Lantas, langkah apa yang sudah diambil?

1. Berusaha menjadi perempuan yang tidak lemah. Penulis pernah mencoba hal ekstrem dengan mengambil alih peran laki-laki sebagai protector yang seharusnya menjadi pelindung dengan cara membonceng teman laki-laki penulis dalam kondisi hujan dengan mantel hanya digunakan oleh teman lelaki penulis dan penulis yang mengendarai motor dalam kondisi hujan deras tanpa mantel (alibi teman lelaki penulis karena sakit padahal ada teman lelaki lainnya yang bisa menggantikan). Apa implikasinya? Penulis hanya dikasihani menjadi seorang perempuan yang tidak seharusnya mengambil peran protector dan dianggap sebagai seorang perempuan yang terkesan mudah dibodohi. Padahal penulis sengaja melakukan semuanya untuk melakukan uji coba untuk membuktikan perempuan bisa melindungi dan menjadi protector dalam kondisi tertentu. Nihil, dalam kondisi ini perempuan hanya akan dikasihani, bukan diapresiasi. Maka keputusan mengambil alih peran ini dari lelaki sepenuhnya salah.

2. Berusaha menjadi perempuan yang tidak ribet. Penulis beberapa kali mendengarkan celotehan teman lelaki penulis yang menggerutu karena pacarnya ribet, suka marah-marah, dan banyak hal lainnya. Maka, penulis mencoba menjadi sebaliknya. Setiap kali apapun yang berkaitan dengan kegiatan, biasanya teman-teman perempuan penulis bisa berjam-jam bersiap-siap dan berdandan, maka penulis selalu memangkas waktunya menjadi singkat atau berusaha untuk bersiap secepat kilat tanpa mempedulikan penampilan hanya agar tidak membuat menunggu teman yang sudah bersiap. Penulis juga selalu selesai bersiap dalam waktu 15 menit, misal teman penulis sudah mandi sejak 05.30 dan selesai bersiap pukul 06.15 maka penulis mulai mandi pukul 06.00 dan sudah siap pukul 06.15. Bukan hanya itu, penulis juga selalu menjadi orang pertama yang selesai bersiap ketika teman-teman lain masih berdandan dan selalu penulis yang menunggu. Apakah itu sudah dikategorikan sebagai tidak ribet? Tidak juga, pada akhirnya lelaki hanya melihat menggunakan matanya. Menjadi tidak ribet akan kalah dengan penampilan cantik yang dibuat oleh perempuan dengan persiapan selama berjam-jam itu.

3. Berusaha menjadi perempuan yang tidak membebani. Dalam berbagai situasi, banyak sekali hal-hal yang akan menjadikan perempuan sebagai beban. Mungkin tidak perlu dijelaskan karena pasti terbersit di kepala. Apa yang berusaha dilakukan? Dengan belajar melakukan semuanya sendiri. Penulis diajarkan sejak remaja untuk melakukan berbagai hal berbau rumah tangga secara mandiri, mulai mengangkat galon, memasang gas, memasang lampu, dan banyak hal-hal lainnya yang biasanya perempuan selalu akan membutuhkan bantuan, maka akan diajarkan oleh kakak penulis dengan alasan agar semuanya bisa dilakukan sendiri. Apakah kemudian menjadi sesuatu yang membanggakan? Tidak juga, justru beberapa kali menyadari sebagai makhluk sosial sepertinya butuh bantuan dan dibantu oleh orang lain tidak seburuk itu. Toh, hidup di dunia juga tidak sendirian, akan selalu ada orang lain. Entah baik atau buruknya.

Berdasarkan beberapa pengalaman tersebut dapat disimpulkan, berusaha menjadi perempuan yang tidak sesuai karakteristik "cewek" dalam arah negatif tidak membuat perempuan kemudian menjadi seseorang yang kuat, mandiri, dan keren. Terkadang malah mengenaskan juga karena mungkin hidupnya begitu sebatang kara sampai melakukan apapun sendirian. Justru ketika perempuan dijadikan tulang punggung, menanggung semua hal di sekitarnya, malah akan dikasihani kan? Padahal apabila laki-laki bisa menanggung semua hal akan dibanggakan karena kemampuannya untuk bertanggung jawab pada hal di sekitarnya. Sepertinya memang sepatutnya kembali ke fitrah perempuan dan laki-laki atas batas yang wajar sesuai kodratnya. Itu yang paling benar dilakukan. Terlalu menuntut laki-laki maskulin juga bisa membuat toxic masculinity, menuntut perempuan untuk terlampau feminis juga justru akan membuat peran laki-laki memudar dan menyalahkan kesetaraan. Sepatutnya kembali ke fitrah, begitu kan?


Komentar

Postingan Populer