Cokelat Itu Manis Tapi Pahit
Cokelat digenggamanku itu asalnya dari sosok laki-laki yang selama ini kusuka. Senang menerimanya? Awalnya. Namun setelah tahu keesokan harinya dia membutuhkan pertolonganku, membuatku melakukan banyak hal untuknya, dan mengurus dia untuk menyiapkan sidang skripsinya. Aku jadi tahu, itu bukan lagi cokelat yang aku mau. Bahkan menyentuhnya saja sampai saat ini ia tergeletak pun aku sudah tidak nafsu. Itu hanya hadiah sogokan yang diberikannya untuk ganti semua pertolongan yang aku berikan, semacam hubungan transaksional semata. Apalagi dia memang hanya meneleponku untuk bertanya "dimana?" atau kata-kata lain semacam "aku butuh bantuan" atau "aku sedang dalam masalah". Bodohnya, aku selalu berlari menghampiri setiap panggilan darinya di teleponku berdering. Apa aku bahagia? Aku tidak mengerti seutuhnya. Dekat dengan manusia semacam itu membuatku tampak konyol. Aku benar-benar dicari ketika butuh saja, padahal setahuku orang yang jatuh cinta akan sering menanyakan kabar karena rindu. Minimal kalau tidak pernah bertemu berbulan-bulan, ada terselip tanya bagaimana kabarnya nun jauh disana. Nihil, aku tidak pernah dicari kecuali ketika dia benar-benar perlu.
Apakah aku suka dihubungi dan dicari hanya ketika perlu saja? Di satu sisi, aku senang karena aku yang terlintas di pikirannya ketika dia mengalami hal-hal buruk di hidupnya atau benar-benar sedang membutuhkan bantuan orang lain. Namun di sisi lain, hubungan semacam ini membuatku bertanya kembali, apa benar ini perasaan suka yang tulus? Kalau hubungannya malah seperti klien yang membutuhkan advokat ketika terlibat masalah hukum. Bahkan sepertinya lebih baik hubungan klien dan advokat karena masa kerjanya jelas dan selesai ketika satu masalah bertemu dengan satu penyelesaian. Hubunganku tidak sesederhana itu, urusannya panjang sekali. Tidak hanya satu masalah dengan satu penyelesaian, tetapi banyak masalah dengan banyak penyelesaian dalam jangka waktu yang panjang. Tidak ada upah pula, sudah seperti tenaga kerja yang kehilangan hak upahnya. Kalau memang ini hanya bentuk hubungan manusia yang saling membantu, kenapa melibatkan emosional yang tidak menentu itu?
Mungkin kalau hubungan itu sekedar saling membantu diiringi dengan timbal balik yang sesuai tanpa perasaan, seharusnya semuanya baik-baik saja kan? Apa ini juga ulah ekspektasi karena aku berhadapan dengan orang yang kusuka? Jadi menimbulkan kekecewaan-kekecewaan runtutan yang tidak tau asal muasalnya. Aku masih ingin memastikan, sebenarnya kenapa semuanya berjalan begitu buruk. Apakah aku kurang baik mengutarakan apa yang aku mau? Atau aku kurang tegas membuat batasan dengan orang lain sampai orang lain bisa sewenang-wenang terhadapku? Begitu banyak pertanyaan dan itu terus berputar-putar di otakku selama setahun ini. Seharusnya kalau semuanya berjalan begitu buruk, aku tinggal pergi kan? Tetapi lagi-lagi aku juga tidak tahu kenapa aku masih bertahan, padahal tidak ada yang perlu dipertahankan.
Seperti hadiah sogokan yang dia berikan kepadaku, cokelat itu. Aku sudah tidak suka lagi dengan makanan favoritku itu. Representasi jelas terbaca dari sekotak cokelat yang dia berikan, manis tapi diiringi rasa pahit. Memang seperti perasaan cinta, rasa suka dan ketidaksukaannya pun beriringan sekaligus, juga seperti perilakunya yang datang dengan manis kemudian memperlakukan dengan perilaku-perilakunya yang lain dan terasa pahit untuk aku terima. Namun sampai saat ini, apa benar makanan favoritku masih cokelat? Apa aku akan benar-benar lega kalau mengganti makanan favoritku dengan yang lain ya?
Kamis, 1 Agustus 2024
Surabaya
Komentar
Posting Komentar